Pertambangan di Indonesia

(Sebetulnya tulisan ini lebih tepat dijuduli ringkasan dari bukunya Pak Bondan yang berjudul Sebongkah Emas Di Kaki Pelangi, karena saya menuliskan ini juga setelah membaca buku itu, tetapi jelas bukan dimaksudkan sebagai review karena fokus di tulisan ini adalah bahwasannya saya ingin menampilkan tentang perkembangan dunia tambang di Indonesia dari masa ke masa. Jadi kalau di buku itu tujuannya adalah untuk mengungkap kasus penipuan terbesar dalam dunia pertambangan Indonesia oleh perusahaan Bre-X, maka saya disini mencukupkan diri pada beberapa data yang ada dalam buku itu untuk melengkapi pemahaman saya terhadap bagaimana jalannya sejarah pertambangan di Indonesia, yang kata orang sumber daya alamnya melimpah itu. Oia, buku Pak Bondan itu adalah hasil reportase dan investigasinya atas kasus Bre-X)

Nah jadi dari awal saya sudah bilang, meski rujukan primer tulisan saya adalah buku itu, tetapi ini bukan review. 😀 Intinya ingin bercerita tentang sejarah panjang pengelolaan pertambangan dan perminyakan nasional di tempat strategis ; Kalimantan (?) dan Irian Jaya atau Papua (Gunung Ersberg, dan Grasberg), dan beberapa revisian peraturan didalamnya seperti Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, dlsb.

Isu tentang kekayaan yang dikandung perut bumi Indonesia sepertinya memang tidak akan lekang oleh waktu dan tak akan pernah habis bosan untuk diperbincangkan. Tentang bagaimana pengelolaannya, apakah pemerintah sudah benar dalam bertindak dan bersikap khususnya terkait PMA (Penanaman modal asing), tentang daulat energi (terkesan sangat keren dan nasionalis sekali bukan istilah ini? :D), dan sederet hal-hal lainnya yang ternyata masih berupa opini, terkaan dan dangkal sekali. Jauh dari analisis kenyataan dan lapangan. Justru di medan aslinya, bisnis di sektor pertambangan ini sangat rawan dan beresiko tinggi. Nanti kita akan tahu kenapa hanya segelintir perusahaan atau orang yang mau terjun ke bisnis ini. Ibaratnya, investasi awal di bisnis ini tergolong sangat besar dengan kepastian yang belum tentu. Kan ini namanya gambling, iya ndak? Baik di sektor pertambangan atau perminyakan.

Konon, untuk mengadakan eksplorasi dan eksploitasi minyak hingga pengeborannya diperlukan sekurangnya 20 sumur yang harus di bor dengan biaya persumurnya mencapai 20 juta dollars. Dan dari 20 sumur tersebut belum tentu ada minyaknya. Tetapi kalau ada satu saja sumur yang ada minyaknya, itu sudah mengcover biaya awal tadi. 😀 makanya minyak bisa jadi sedemikian mahalnya. Tapi, subsektor pertambangan minyak risikonya jauh lebih kecil dibanding dengan pertambangan emas.

Nah, kata Jim Bob Moffett juga begitu, doi yang merupakan orang elit di PT Freeport pernah mengatakan bahwa usaha di bidang pertambangan adalah usaha yang sangat tinggi resikonya.

“Bila Anda mau memasuki bidang usaha pertambangan, Anda harus memiliki kepiawaian teknis, ditunjang dengan konsultan ahli yang punya reputasi baik, di samping modal yang sangat besar. Tidak ada jalan pintas. Anda harus mengikuti program eksplorasi yang komplet untuk menemukan cebakan yang bernilai komersiel tinggi. Peluang bagi seseorang yang punya modal pas-pasan – memperhitungkan kondisi alam Indonesia yang berat – untuk menemukan endapan mineral adalah sangat kecil, seperti keajaiban.”

Kemahsyuran Sumatera sebagai Pulau Emas telah berlangsung selama dua ribu tahun (?)*Kita tentu boleh bertanya angka tahun itu pak bondan dapat darimana :mrgreen: . Tapi sayangnya, tak cukup banyak catatan tentang kegiatan penambangan emas di Swarnadwipa ini. Peta kuno pra-kolonial Sumatera menunjukkan adanya dua tempat penambangan emas, yaitu: Rejanglebong di bagian utara Bengkulu, dan Batanggadis dibagian selatan Sumatera Barat. Tempat-tempat lain di Sumatera yang diketahui mempunyai deposit emas pada masa itu adalah di sekitar: Meulaboh di Aceh; Kotacina di Sumatera Utara; Muarasipongi, Buo, Batangasai, dan Salida di Sumatera Barat. Kotacina, misalnya, merupakan pelabuhan dagang yang ramai pada abad 11-13. Tak ada catatan sejarah tentang penambangan emas di Kotacina, tetapi penggalian arkeologis di sekitar Kotacina menemukan berbagai perhiasan emas purba.

Lalu tentang Kalimantan, …

– Pulau ketiga terbesar di dunia, setelah Greenland dan Irian – sangat sedikit kehadiran catatan-catatan etnografi masa lampau yang menunjukkan adanya kandungan emas. T.M. van Leeuwen, penemu cebakan emas Kelian, dalam Journal of Geochemical Exploration hanya menulis secara sepintas tentang penambangan emas oleh orang-orang Cina di Kalimantan pada abad ke-4. Sebuah catatan lain menunjukkan adanya temuan benda purbakala terbuat dari emas di Sambas dan Limbang, Kalimantan Barat. Mineral emas juga tercatat ditemukan di sekitar Monterado di Kalimantan Tengah, sekitar Martapura di Kalimantan Selatan, dan sekitar Barito di Kalimantan Selatan (John N. Miksic, 1989). Kegiatan penambangan di Kalimantan yang tercatat di masa lalu – berdasarkan catatan geologi Belanda pada 1930 adalah sebuah tambang batubara enam kilometer dari muara Sungai Kelian, Kecamatan Longiram, Kabupaten Kutai, Di masa modern, sumberdaya tambang yang terkenal di Kalimantan adalah minyak. Pada masa Perang Dunia II, Jepang berusaha keras menduduki Kalimantan karena minyak bumi yang akan dipakai untuk menggerakkan mesin-mesin perang.

Sebagian orang juga berteori bahwa nama Kalimantan sebetulnya berasal dari kata “kali”,”emas”, dan “intan”, yang menunjukkan adanya keterkaitan pulau ini dengan hasil tambang emas dan intan. Intan yang merupakan alotropi karbon – dan merupakan zat alami terkeras yang dikenal orang – sudah ditemukan di berbagai tempat di Kalimantan Tengah, Selatan, dan Barat selama beberapa abad. Tambang intan tradisional yang terkenal di Kalimantan adalah Martapura. Di Campaka, dekat Martapura, Kalimantan Selatan, pada 1965 ditemukan intan sebesar 166 karat yang terkenal dan diberi nama “Trisakti”.

Sebenarnyalah terdapat cukup banyak bukti yang menunjukkan adanya kegiatan penambangan emas dan intan di Kalimantan. Pada pertengahan abad 18, Sultan Mempawah (Kalimantan Barat) mendatangkan sekitar 20 orang Cina dari Provinsi Kwantung untuk dipekerjakan di tambang-tambang emas di Kalimantan Barat. Keberhasilan pekerja-pekerja tambang dari Cina itu membuat Sultan Sambas dan para sultan lainnya pun mulai mendatangkan pekerja-pekerja tambang dari Cina. (Catatan Penulis: satu abad kemudian para penjajah Belanda meniru cara yang sama dengan mendatangkan pekerja-pekerja tambang dari Cina untuk menggarap pertambangan timah di pulau-pulau Bangka, Belitung, dan Singkep).

Kalau kita pelajari perjanjian kerja antara para sultan dan pekerja tambang di masa itu, sebenarnyalah mereka sudah menggunakan konsep profit sharing atau production sharing. Kedua belah pihak mempunyai kedudukan yang setara (equal partners) dalam perjanjian bagi hasil itu. Kabar pun segera terdengar di kalangan orang-orang Hakka dan Hoklo di Provinsi Kwantung tentang adanya cebakan emas di Kalimantan Barat. Semacam gold rush pun terjadi ketika orang-orang dari Kwantung ini berduyun-duyun datang ke Kalimantan Barat.

Sejarah Gunung Emas Cartenz, Irian Jaya. (Hal 5)

Dibanding temuan-temuan cebakan emas di kalimantan, nyatanya, penemuan emas di Irian Jaya lah yang merupakan salah satu surprise zaman modern Indonesia. Awalnya adalah pada tahun 1936, seorang geolog Belanda bernama Jean-Jacques Dozy yang menjadi anggota ekspedisi Colijn berhasil mencapai Ngga Pulu, 4906 meter. Ngga Pulu pada waktu itu adalah puncak yang tertinggi pada garis antara Puncak Himalaya dan Puncak Andes. Pada waktu itu Ngga Pulu bahkan lebih tinggi dari Puncak Jaya, puncak tertinggi Pegunungan Carstenz pada saat ini. Mencairnya es pada Puncak Ngga Pulu membuat ketinggiannya terus menurun dari tahun ke tahun. Perlu dicatat bahwa Ekspedisi Colijn bukanlah ekspedisi geologi, melainkan untuk melihat gunung berpuncak es yang tampak oleh pelaut-pelaut Belanda yang melintasi perairan Irian.

Pada ketinggian 3500 meter, Jean-Jacques Dozy, terperangah melihat sebuah bukit yang tampak hitam pekat, menjulang dengan ketinggian 75 meter di atas padang rumput alpin. Naluri geologinya segera mengatakan bahwa bukit yang sedang dilihatnya itu adalah sebuah cebakan mineral yang teramat kaya. Ia menamakan julangan itu sebagai Ertsberg, Gunung Bijih. “Tak salah lagi,” kata Dozy ketika itu. “Tak seorang geolog pun bisa tertipu oleh gunung hitam ini. Titik hijau dan birunya terlalu nyata untuk mendeteksi kandungan tembaga yang kaya di dalamnya.” Itulah mungkin yang disebut sebagai sense of engineering atau intuisinya engineer, anak teknik pasti tahu istilah itu. 😀

Laporan Jean-Jacques Dozy itu diterbitkan pada 1939 dan sejak itu mendekam di perpustakaan Universitas Leiden, mengumpulkan debu. Perang Dunia II yang kemudian pecah menciptakan prioritas-prioritas baru yang membuat laporan Dozy itu semakin terlupakan. Baru pada 1959 seorang Forbes Wilson –ketika itu geolog pada Freeport Sulphur yang berpusat di Louisiana, Amerika Serikat– dalam riset kepustakaannya menemukan laporan Dozy itu. Dozy tak hanya menulis tentang kekayaan cebakan yang diduga mengandung tembaga itu, tetapi juga melaporkan bahwa tempat itu mungkin merupakan lokasi tambang yang paling sulit di dunia. Bulu Kuduk Forbes Wilson bangkit. Ia tahu bahwa ia sedang dalam proses menemukan sebuah harta karun yang tiada terperi.

Pada tahun 1960 Forbes Wilson sudah merayap mendaki Ngga Pulu. Bila pada 1936 Dozy memerlukan 57 hari setelah diterjunkan dengan parasut, pada 1960 Wilson memerlukan 17 hari untuk mencapai tempat itu. Wilson segera menemukan kesalahanDozy. Gunung Bijih itu bukan 75 meter tingginya, melainkan 179 meter. Lebih daripada itu, Wilson juga menaksir bahwa kandungan tembaga dari Ertsberg bisa ditemukan hingga kedalaman 360 meter. Apa yang ditemukan Wilson adalah jauh lebih besar daripada apa yang diduga Dozy (George A. Mealey, 1996). Tetapi, Freeport belum bisa segera melaksanakan niatnya untuk menambang kekayaan Irian Jaya. Kondisi politik Indonesia pada waktu itu sedang mengalami berbagai kerawanan. Baru pada awal Pemerintahan Orde Baru, Freeport mengajukan izin dan menjadi PMA (Penanaman Modal Asing) yang pertama di Indonesia. Freeport kemudian mengontrak Betchel – perusahaan konstruksi terkemuka di Amerika Serikat – untuk membangun sarana penambangan di medan yang sangat sulit itu. Dan Freeport pun menemukan keberuntungannya. Tambang tembaga itu ternyata mempunyai kandungan emas yang sangat tinggi.

Berburu Emas

Dari baheula hingga sekarang ternyata ketergila-gilaan manusia terhadap logam mulia, yaitu emas, tak pernah kunjung surut. Bahkan dalam sejarahnya, ilmu kimia pun juga sempat dibayang-bayangi oleh mitos tentang emas ini, yaitu bagaimana pencarian para kimiawan terhadap senyawa atau unsur apapun (kayu misalnya) yang bila direaksikan akan menghasilkan emas.

Nah, Penemuan emas ternyata masih merupakan hal yang diburu orang. Dari Stockwatch Canada (informasi bursa saham Canada) yang mempunyai situs web di Internet, setiap minggu sedikitnya ada tiga berita tentang temuan emas di berbagai penjuru dunia. Ini berkaitan dengan banyaknya junior companies Canada yang bergerak di bidang ekplorasi mineral di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar seratus junior companies Canada melakukan kegiatan penelitian umum dan eksplorasi.

Sebelum abad 18, penghasil utama emas di dunia adalah Amerika Selatan. Pada abad 16, ekspedisi-ekspedisi yang dikirim Spanyol untuk menemukan El Dorado di Amerika Selatan, malah menemukan harta karun Aztec di Meksiko dan Inca di Peru, serta menjarahnya untuk dibawa pulang ke Spanyol. Emas pada masa itu kebanyakan dipakai sebagai mata uang dan perhiasan. Oia, bisa dipastian bahwa disamping emas, pasti selalu ada kolonialisme disana. Inget prinsip 3G kaum penjajah kan? Gold adalah salahsatu motifnya. 😀

Sekilas tentang Kontrak Karya. (Hal 17)

Sedikit menyinggung tentang regulasi pemerintah Indonesia di bidang emas, minyak atau gas yang dikategorikan sebagai sumber daya alam. Di UUD kita, secara jelas hal tersebut dinyatakan dalam ayat 3 Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bersumber dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang sakral itulah semua peraturan tentang pertambangan diderivaksikan. Secara bijaksana pula Pemerintah membuat penafsiran, bahwa “menguasai” tidaklah identik dengan “memiliki”. Penafsiran ini merupakan landasan penciptaan peraturan-peraturan di bidang usaha pertambangan Indonesia. Dalam sebuah diskusi di Sekretariat Negara sekitar sepuluh tahun yang lalu, Pemerintah bertekad untuk mengurangi kesan (down tone) kepemilikan, dan sebaliknya mencuatkan kepentingan pemasukan negara, kesempatan kerja, dan mengurangi kesenjangan dengan memakai aset yang dikuasai Negara.

Hasil tambang yang pertama kali diatur oleh Pemerintah adalah minyak bumi. Pada dasarnya, Pemerintah menerapkan konsep production sharing dalam pengelolaan sumberdaya minyak bumi Indonesia dengan kontraktor-kontraktor asing. Kurangnya pengalaman Pemerintah pada waktu itu (baca : sekira zaman orba) dalam menangani kontrak-kontrak yang melibatkan perusahaan besar dari mancanegara, membuat Pemerintah memperlakukannya dengan penuh kewaspadaan. Salah satu hal yang dianggap “menakutkan” bagi pemerintah pada waktu itu adalah munculnya kekuatan tujuh perusahaan minyak raksasa yang dikenal dengan sebutan “The Seven Sisters”. Pada satu titik, “The Seven Sisters” ini, baik secara sendiri-sendiri maupun beraliansi, bisa saja mendikte pemerintah dengan usulkan klausal-klausal perjanjian yang menguntungkan mereka.

Untuk mencegah kemungkinan itu, Pemerintah menerapkan strategi merangkul perusahaan-perusahaan ekplorasi perminyakan berskala kecil (junior companies) untuk beroperasi di Indonesia. Asamera, misalnya, adalah salah satu perusahaan ekplorasi minyak pertama yang oleh Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina pada masa itu (kalo pernah baca novelnya Habibi-Ainun gak akan asing dengan nama itu. Hehe), diberi kontrak untuk melakukan eksplorasi di Indonesia. Asamera berhasil dan hingga kini masih eksis, bahkan telah men-transformasi-kan dirinya menjadi perusahaan minyak yang andal, tidak lagi sekadar yunior. Contoh perusahaan yang semula kecil dan kini telah berhasil di bidang perminyakan Indonesia adalah IIAPCO.

Kontrak Pertambangan berdasarkan production sharing itu hanya berlaku bagi komoditi minyak dan gas bumi, serta batubara. Batubara dimasukkan dalam klasifikasi yang sama karena fungsinya sebaga sumber energi. Untuk jenis-jenis mineral lain, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, Pemerintah menerapkan sistem Kuasa Pertambangan (KP, hanya untuk pengusaha nasional), Dan Kontrak Karya (KK, hanya untuk perusahaan asing). Lahirnya Undang-Undang Pertambangan itu juga memberikan landasan yang lebih mantap bagi peningkatan operasi penambangan mineral. Pada 1952, misalnya, telah berakhir masa konsesi bagi perusahaan-perusahaan pertambangan Belanda yang melakukan penambangan timah di pulau-pulau Bangka, Belitung, dan Singkep. Sebelum lahirnya Undang-Undang Pertambangan, perusahaan tambang timah negara itu nyaris beroperasi di atas aturan-aturan yang ad hoc, antara lain dengan Perpu 37.

Pembedaan sistem itu sebetulnya sangat berlandasan. Penambangan mineral jauh lebih tinggi risikonya dibandingkan penambangan minyak dan gas bumi. Perusahaan minyak, misalnya, cukup mengebor dua lubang – di Indonesia pada kedalaman 600-2000 meter, di tempat-tempat lain bisa sampai 3000 meter –dengan biaya sekitar AS$4 juta per lubang, untuk bisa memutuskan apakah terdapat cebakan ekonomis di kawasan itu. “Bahkan, bila tajam analisis seismiknya untuk menemukan oil trap atau gas trap di dalam perut bumi, dengan satu lubang pun sudah ketemu,” kata B.M.W. Siagian, seorang geolog kawakan yang kini memimpin PT Timah Investasi Mineral. Perusahaan tambang mineral, sebaliknya, harus melakukan pengeboran sebanyak ratusan lubang sebelum bisa menarik kesimpulan tentang adanya cebakan ekonomis. Biaya pengeboran rata-rata mencapai AS$100 per meter, atau sekitar AS$25,000 per lubang. “Tergantung jenis batuan di mana mineralisasi ditemukan. Bisa mahal, bisa kurang mahal,” kata Siagian. Perbedaan utama antara KPS (Kontrak Production Sharing) dan KK (Kontrak Karya) adalah bahwa KPS manajemen seluruh kontraktor asing ditengani oleh Indonesia, dalam hal ini Pertamina. Setiap perencanaan pengembangan harus disetujui Pemerintah. Untuk produk minyak, Indonesia memperoleh bagian 85%, sedangkan kontraktor memperoleh 15% sebagai upah. Untuk gas bumi, kontraktor memperoleh upah lebih besar, yaitu 30%.

Susahnya Menambang Mineral itu, … (Hal 21)

Menurut Soetaryo Sigit bahwa success rate untuk usaha pertambangan mineral emas rasionya adalah kurang dari 3:100. Padahal di subsektor minyak dan gas bumi angka keberhasilannya bisa mencapai 1:2. Sukses yang dicapai segelintir perusahaan tambang mineral hanyalah sebuah puncak gunung es yang tampak di atas permukaan laut. Di bawahnya terpuruk ratusan perusahaan tambang yang sedang berusaha untuk mencapai puncak gunung es, dan sebagian besar bahkan sudah terkubur beku di bawah sana.

Risiko teringgi yang dihadapi perusahaan pertambangan adalah biaya eksplorasi yang tak ada batasnya. Siapa yang bisa memastikan bahwa setelah sumur bor keseratus akan ditemukan emas? Tingginya risiko usaha pertambangan juga diperkuat dengan unsur-unsur berikut: lokasinya yang jauh di pelosok tanpa infrastruktur memadai, memerlukan modal yang sangat besar (capital intensive), usia penambangan yang terbatas, serta pencegahan pencemaran dan rehabilitasi lingkungan yang juga mahal biayanya (sosial maupun aktual). Kuntoro Mangkusubroto dalam ceramahnya di Metal Mining Agency of Japan pada akhir September 1996 mengatakan: “Every mineral prospect is now the site of intense environmental, social and political negotiation.” Harga komoditi mineral yang ditetapkan oleh pasar membuat perusahaan penambangan hanya menjadi price taker yang setiap saat berada dalam posisi rawan oleh goyangan harga pasar. Belum lagi bila harus dipertimbangkan upaya-upaya Pengembangan wilayah (community development) mengingat lokasi operasi biasanya berada di daerah terpencil yang terbelakang pembangunannya. Semua risiko itu juga membuat rintangan lain bagi perusahaan pertambangan: sulitnya memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan. Anggapan-anggapan umum dan para pakar yang kurang memahami masalah untuk memperketat aturan-aturan Kontrak Karya – apalagi mengubahnya menjadi Undang-Undang – akan berakibat kontra-produktif. Misalnya, Rachman Wiriosudarmo, mengatakan bila kontraktor ditekan dengan pajak yang semakin tinggi, dampaknya adalah pada merosotnya komitmen di bidang perlindungan lingkungan, konservasi mineral, dan pengembangan wilayah. Pada masa Mohamad Sadli menjadi Menteri Pertambangan, misalnya, pernah diberlakukan ketentuan tentang windfall profit (bila keuntungan melebihi 15% dikenai pajak tambahan) yang antara lain membuat “kosong”- nya permohonan Kontrak Karya selama sepuluh tahun. Unsur keberuntungan boleh dikata tak ada di bidang usaha pertambangan. Jim Bob Moffett, CEO Freeport, selalu mengatakan bahwa: “Luck is when hardwork meets opportunity.” Perusahaan-perusahaan pertambangan yang sekarang berada di puncak gunung es itu bukanlah perusahaan-perusahaan yang beruntung. Mereka telah terlebih dahulu mempertaruhkan segala daya dan dana untuk menemukan cebakan mineral yang dikejarnya.

Referensi bacaan :

  1. Bre-X ; Sebongkah Emas di Kaki Pelangi, Bondan Winarno. bagi yang ingin membacanya dalam bentuk pdf, silakan sudah ada yang berbaik hati menguploadnya di sini.